Senin, 12 Desember 2011

CERPEN

BUAH KESABARAN
Setiap hari aku selalu melaksanakan rutinitasku yaitu pergi ke kampus dengan harapan agar aku mendapatkan sesuatu yang baru dari hari kemarin sekaligus menambah pengetahuan yang ada di dalam otakku walaupun otak ini rasanya ingin beristrahat karena kapasitasnya sudah tidak cukup lagi untuk menampung ilmu-ilmu yang ingin masuk secara paksa lewat dua gendang telingaku. Walaupun seperti itu aku tetap melaksanakan kegiatan rutinku karena aku tidak mau kalah dengan teman-teman yang lain.
“Mengapa yang lain bisa sementara aku tidak bisa?” pikirku.
Itulah yang menjadi pandangan ampuhku saat aku merasa jenuh.  Hal itu selalu kulakukan, setiap hari kecuali pada hari libur yaitu pada hari Minggu karena hari tersebut merupakan hari untuk mereka beristirahat agar dapat mempersiapkan kembali tenaga mereka pada hari senin sampai selanjutnya  .    Sebelum melakukan rutinitasku tersebut aku pun melakukan kegiatanku seperti biasanya sebelum ke kampus yaitu bangun tidur pada saat orang-orang tengah berkelana ke alam mimpi ,di saat jangkrik dan kodok sedang berpesta pora  dengan menyanyikan lagu melankolis aku lalu bertemu sang kekasih hatiku agar ia mencintaiku seperti kekasihnya yang lain. Sambil menunggu tugasku yang paling pokok dengan melaksanakan salah satu  sholat wajib yaitu sholat subuh  aku lalu membacakan puisi-puisi cintanya yang dikirim lewat kekasihnya yaitu Nabi Muhammad dengan berharap agar ia semakin sayang padaku dan tak pernah meninggalkan aku karena aku tak ingin berpisah dengan-Nya. Karena aku anak kos-kosan maka setelah selesai melaksanakan sholat subuh aku segera merapikan kamar, memasak, makan lalu mandi. Aku sengaja melakukan itu semua  di saat orang lain tengah terlelap meringkuk seperti udang goreng dengan belaian kelembutan kabut pagi karena aku tidak mau terlibat antrian panjang  menunggu giliranku tiba untuk memakai fasilitas satu-satunya di  asramaku yaitu kamar mandi. Setelah melakukan semua kegiatan itu aku lalu belajar guna mempersiakan pelajaran yang akan kuhadapi setelah berada di kampus.
    Hari ini aku melakukan aktifitasku seperti biasanya yaitu pergi ke kampus dengan menyusuri jalan bebatuan sejauh seratus meter dan kemudian jalanan beraspal yang mulus walaupun sedikit becek yang disebebkan oleh hujan semalam.  Sebentar lagi matahari yang tersenyum ceria pagi ini akan menyulap jalanan yang becek tersebut menjadi mengering tentunya dengan menghisap seluruh air yang berada di atas permukaan bumi melalui proses penguapan.  Ketika aku telah memasuki wilayah kampus tempat aku menuntut ilmu aku bertemu dengan temanku pada saat ketika aku duduk di bangku SMA. Karena arah yang kami tuju bersamaan maka kami pun berjalan bersama menyusuri jalanan tak berbatu tersebut. Namun kami pun harus berpisah tak lama setelah itu karena tempat yang ia tuju telah sampai. Aku pun harus kembali berjalan seorang diri menikmati indahnya pemandangan di dalam kampus.
Sepanjang perjalanan aku selalu mendendangkan lagu di dalam hatiku karena aku selalu bahagia jika pergi menuntut ilmu di kampusku yaitu Universitas Haluoleo, Fakultas FKIP, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra dan Daerah. Aku bangga dapat melanjutkan kuliah di tempat ini karena dosen-dosen yang mengajar di tempat itu sangat ramah-ramah serta kampusku adalah salah satu kampus yang terbesar di Sulawesi Tenggara. Tidak seperti kampus-kampus lain, kampusku adalah kampus yang sangat menggalakkan penghijauan. Hal ini terbukti pada saat kita memasuki wilayah kampus maka kita akan disambut oleh udara sejuk yang dihasilkan oleh pepohonan yang berada di dalam kampus. Selain itu, terdapat berbagai macam suku di dalamnya sehingga kita dapat melihat banyak kebudayaan yang berbeda-beda dari suku-suku tersebut. Walaupun dengan kehadiran suku-suku yang berbeda tersebut mengakibatkan seringnya terjadi tawuran antara dua suku atau lebih yang berbeda yang ditimbulkan oleh rasa solidaritas yang terlalu tinggi tetapi aku masih tetap bangga menjadi mahasiswa Universitas Haluoleo yang biasa dikenal dengan sebutan Unhalu. Dan yang tak kalah pentingnya yang dapat membuat aku bangga adalah aku dapat kuliah di tempat ini melalui perjuangan dan usaha yang cukup berat dan hal itu telah berjalan dua tahun.
Usahaku untuk dapat menjadi mahasiswa di tempat ini, memang tidaklah begitu mudah. Aku melalui banyak rintangan yang menghadangku.
Hal ini dimulai pada saat aku masih duduk SMA di SMAN 1 Raha yaitu salah satu SMA yang berada di Kabupaten Muna. Pada saat itu aku telah duduk di bangku kelas tiga dan tentunya kami sedang mempersiapkan diri kami masing-masing untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional yang menentukan layak atau tidaknya kami untuk lulus dari bangku SMA tersebut. Seperti kebiasaan di setiap SMA khususnya SMA  tempat aku menuntut ilmu yaitu membantu universitas-universitas baik yang negeri ataupun swasta untuk menawarkan berbagai tempat kuliah yang baik, salah satunya melalui bebas tes. Seperti namanya yaitu bebas tes maka memang hal inilah adalah salah satu cara untuk dapat menuntut ilmu di suatu universitas tanpa melalui tes. Cara ini biasanya dilakukan bagi mereka yang tidak ingin merepotkan diri untuk dapat masuk ke universitas secara murni. Walaupun hal ini terlihat sangat praktis, namun tentunya seperti yang kita ketahui bahwa sesuatu yang diperoleh dengan mudah tentunya mempunyai banyak syarat yang dibutuhkan yaitu nilai yang cukup tinggi agar dapat bersaing dengan mereka yang juga menempuh cara ini dan akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebagai suatu bentuk kelayakan. Selain itu pula dikenakan biaya administrasi. Besarnya biaya administrasi biasanya tergantung kepada kebijakan sekolah. Tetapi walaupun kita telah memenuhi syarat-syarat tersebut, belum tentu mereka akan lolos sebagai peserta bebas tes. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang diambil sebagai peserta bebas tes tersebut. Dan bagi peserta yang tidak lolos sebagai peserta bebas tes tentunya uang administrasi yang telah mereka berikan tentunya akan hangus dan tidak dapat ditarik kembali dan uang itu akan dijadikan sebagai bentuk sumbangan kepada sekolah.
Melihat teman-temanku beramai-ramai mendaftarkan sebagai calon peserta bebas tes tersebut tentunya ingin pula mengikutinya. Namun aku sadar bahwa sebelum mengambil keputusan ini, aku harus bertanya dahulu kepada orang tuaku terutama pada ibuku karena pada saat itu yang membiayaiku untuk dapat bersekolah yaitu ibuku. Sedangkan ayahku sudah lama tak membiayai hidup diriku dan adikku karena ia mengidap suatu penyakit yang membuatnya lumpuh. Dengan hal itu membuat ibuku bersusah payah membiayai kami sebanyak tiga orang yaitu ayah, adik, dan diriku.
Sepulang dari sekolah, aku pun segera mencari ibu. Dan aku tahu di mana aku dapat menemukan ibu dengan mudah yaitu di dapur. Ruangan yang tidak terlalu besar hanya berukuran 3x4 meter dengan dilengkapi peralatan dapur yang sederhana. Di tempai ini biasanya aku menemukan ibu sedang memasak dan kadangkala aku membantunya ketika aku berada di rumah. Dan benar hal yang kuperkirakan. Setelah aku menuju dapur, ternyata aku menemukannya sedang mengulek sambal di atas sebuah meja kayu yang tak terlau besar. Aku pun mengucapkan salam pada ibu dan ia pun menjawab salamku dengan senyum yang hangat yang keluar dari bibir manisnya. Aku pun menceritakan tentang hal yang sedang marak dilakukan oleh teman-temanku.
“Ibu, hari ini teman-temanku mendaftar bebas tes. Bagaimana jika aku ikut juga seperti yang dilakukan oleh mereka” , sahutku kepadanya.
Ia tidak menjawab. Kulihat air mukanya berubah dan suasana hangat yang ada berubah menjadi dingin dengan kebisuannya. Aku telah paham jika melihat hal seperti itu dan aku tahu hal itu merupakan hal yang sangat berat dirasakannya. Aku pun berusaha mencairkan suasana.
“Bu, hari ini masak apa?” tanyaku.
“Yah, seperti biasa Nak hanya hanya masak nasi dan sayur bening”,jawabnya.
Aku melihat raut wajah yang sedih ketika ibu menjawab pertanyaanku. Dan aku tahu yang berada  di dalam pikiran ibu bahwa ia sangat merasa bersalah karena tidak mampu menyediakan makanan yang layak bagi kami. Aku pun berusaha membesarkan jiwa ibu.
“Ah, tidak apa-apa Bu! Lagian kan ibu tahu kalau sayur bening adalah makanan kesukaanku begitu pula ayah dan adik sangat suka dengan itu ”, kataku kepada ibu.
“Untung yah Bu, banyak sayur-sayuran di halaman rumah kita untuk memenuhi porsi yang besar kita dengan sayur. Kalau tidak aku tak tahu apa yang terjadi pada sayur-sayur di pasar. Bisa amblas semua. Dan yang lainnya pasti tidak bisa makan sayur, hanya karena kita”,timpalku.
Ibu tertawa melihat celotehanku dan aku sangat senang melihat hal itu karena ibu dapat tertawa lepas. Jarang-jarang ia terlihat dapat tertawa lepas. Mungkin ini disebabkan karena beban pikiran yang menghimpitnya sehingga ia jarang terlihat untuk dapat tertawa. Sebenarnya aku sangat sedih melihat hal itu. Namun apa daya aku tak datang membantunya karena aku masih sekolah dan aku tak tahu harus mengerjakan apa untuk dapat membantu ibu. Aku hanya dapat membantu ibu lewat doa-doaku agar ia dapat rezeki yang banyak dan kesehatan sehingga ia tidak mengalami kesusahan dalam menanggung kami. Selain itu, aku berusaha belajar sebaik mungkin agar hasil belajarku baik dan menjadi pengobat keletihan yang dirasakannya. Aku pun terkadang membantunya ketika hari libur tiba dengan mengikutinya mencuci dari rumah yang satu ke rumah yang lain yang memang merupakan pekerjaannya untuk dapat menghidupi kami. Aku tak pernah malu untuk membantu ibu. Justru aku bangga dapat membantunya, tidak seperti anak-anak lain yang hanya bermalas-malasan menunggu jatah dari orang tuanya.
    Aku meminta izin kepada ibu untuk segera mengganti seragam sekolahku. Sesampai di kamar aku pun menggantinya dan tiba-tiba ibuku datang menemuiku. Ia menanyakan sesuatu hal yang membuatku bahagia.
“Apakah kau sungguh-sungguh ingin kuliah? Jika benar,ibu akan berusaha membiayai kuliahmu karena Ibu berharap kau tidak mengulangi penderitaan yang seperti Ibu rasakan saat ini. Tetapi kau harus janji, kau tidak akan menyia-nyiakan usaha yang Ibu lakukan ini”, ujarnya.
Mendengar itu, tentunya aku sangat bahagia. Dan berjanji padanya untuk belajar sungguh-sungguh. Aku pun mengikuti pendaftaran bebas tes yang diadakan di sekolahku tersebut.
    Allah memang tidak menyia-nyiakan hambanya yang mau berusaha dan bersabar. Itulah yang kualami, ternyata dari sekian banyak teman-teman sekelasku yang mengikuti pendaftaran sebagai peserta bebas tes akulah yang menjadi satu-satunya siswa yang lulus pada pendaftaran itu.
    Ini merupakan kabar gembira bagi ibuku tetapi ini bukan merupakan kabar gembira bagi mereka keluargaku. Mereka sangat menentang usaha ibu untuk menyekolahkan aku ke bangku kuliah. Mereka takut suatu saat ibuku tidak dapat menanggung lagi biaya kuliah maka tentu kepada merekalah kami meminta bantuan. Mereka tak mau dipersusah dengan keadaan seperti itu. Ibuku menjadi sangat sedih, namun kulihat guratan keteguhan di wajahnya. Hal itu terbukti dengan keadaan keadaan diriku sekarang. Aku telah menapaki jalan beraspal yang mengelilingi Unhalu selama dua tahun tanpa meminta bantuan sedikit pun kepada keluargaku yang telah menentangku untuk kuliah. Dan dengan beasiswa prestasi yang kudapatkan dari pihak kampus maka jalanku untuk menyelesaikan kuliah mulai mulus, semulus jalan-jalan yang sering kulalui setiap hari menuju kampus. Aku berusaha agar nilaiku tidak mengalami penurunan sehingga aku tetap memperoleh beasiswa dan dengan itu aku dapat meringankan beban ibu.
    Allah memang Maha Adil kepada setiap hambanya.  Ia selalu memberikan segala keperluan yang dibutuhkan oleh hamba-Nya selama mereka masih mau berusaha dan bersabar dalam menghadapi semua cobaanya. Di jalan yang kulalui saat ini aku memuji kebesaran Allah dan berjanji di suatu saat aku akan membahagikan kedua orang tuaku terutama ibuku yang tak pernah lelah untuk bekerja agar anak-anaknya tidak menjadi orang yang di pandang rendah oleh orang lain.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar